Kupu-kupu; Kupu-kupu Kamerad

Kau akan takjub bila mengunjungi desa ini di akhir Oktober. Matamu akan sibuk oleh cara-cara Tuhan menyombongkan diri. Di taman batas desa, hamparan bunga warna-warni tumbuh kukuh. Bunga-bunga itu hanya lahir di sana dan akan mekar sebulan penuh. Tidak di bulan lain, tidak pula di tanah lain. Kupu-kupu dengan sayap lukisan alam serupa lahar gunung api menghisap nektar, kemudian terbang ke sana ke mari. Memutar desa.
Continue reading

Kupu-kupu; Butterfly Couple

Pukul delapan lewat seperempat waktu Indonesia bagian barat.
Hampir tiga puluh menit mataku stuck memandang ke satu arah. Mencari setengah berharap sesosok pria berwajah manga itu muncul dari sana. Saat ini cuaca sedang panas. Tapi kenapa udara terminal 2D terasa begitu menggigit? Pikiran-pikiran buruk pun mulai menghantam kepalaku. Bagaimana kalau ia memang tidak muncul? Bagaimana kalau ia melarikan diri?
Kutatap tangan kananku yang kosong. Seharusnya benda berkilau itu ada di sana, tersemat di salah satu jariku. Seharusnya…
Arghh! Memikirkan ini saja sudah membuat kepalaku seperti kejatuhan palu. Sakitnya menggema. Membangunkan segala ingatan hari itu. Hari yang menjadi penentu gelap terangnya kehidupanku beberapa tahun kemudian. Ah, scratch that! Berpuluh-puluh tahun kemudian.

* * * * * Continue reading

Kupu-kupu; Insektarium

Sering dibayangkannya sebuah sayap rentang dan kepak di punggungnya. Di hadapan cermin, Aluri berkaca. Matanya mematut pantulan tubuh mungil bugilnya, tapi isi kepalanya lebih visual dan imajiner membentuk citranya, menambal tepian tubuhnya dengan lekuk-lekuk warna kelabu transparan, bidangnya diurati rangka tipis dan jalar serupa ranting-ranting gundul kering tua, dengan kontur lentur halus serupa selaput, lebar, berkepak-kepak. Sayap kupu-kupu. Ia ingin menjadi itu. Baginya, tubuh telanjangnya adalah poros yang bakal seimbang dengan dua layar di kiri kanan, membikinnya terbang, menunggang angin yang hanya embus dalam tempurung kepalanya. Jauh menuju antah.
Continue reading

Kupu-kupu; Angsana

Wahai Angsana, masihkah kau ingat pada dua kupu-kupu yang selalu kita lihat dalam waktu yang lama? Masa itu kita masih sering bertemu, menghabiskan waktu dengan sebagiannya meributkan sepi dengan tawa-tawa kita. Kala itu kita sering kali berada di sana, duduk-duduk di pondok ladang, sembari menunggu padi yang dikhawatirkan dimakan burung-burung kecil itu.
“Aku lebih suka dengan Kupu-kupu berwana putih”, begitu katamu, saat aku bertanya Kupu-kupu yang kau suka di antara dua Kupu-kupu itu.
Continue reading

Kupu-kupu; Kupu-Kupu Hitam

Saat itu aku sedang memperhatikan mawar yang kutata rapih di taman yang aku buat khusus di bagian belakang rumah. Beberapa tangkai aku gabungkan warna merah dan putih di dalam vas kaca tinggi di atas meja yang sengaja aku atur di antara dua kursi tempat aku menikmati indahnya taman yang sudah setahun aku rawat. Rumah ini tidak besar karena memang aku tidak butuh yang besar. Dua kursi tadi aku sediakan untuk aku dan anakku kelak. Rumah ini akan penuh dengan tawanya. Mawar-mawar ini akan tumbuh dengan senyumannya. Rumah dan seluruh hidupku aku peruntukkan baginya.
Seekor kupu-kupu hitam hinggap di salah satu mawar tak jauh dari tempatku duduk, mengepakkan sayapnya yang lebar dua kali sebelum terdiam khusyuk menikmati sari bunga indah di taman mawar rumahku. Kupu-kupu itu hitam besar, hanya hitam. Tidak ternoda oleh warna lainnya. Entah bagaimana kupu-kupu itu seperti mewakili masa laluku. Seekor kupu-kupu cantik berwarna hitam. Kelam.
*** Continue reading

Seminggu sebelum aku meninggalkan…

Seminggu sebelum aku meninggalkan keluargaku dan florida serta sisa masa remaja untuk pergi ke sekolah asrama di Alabama. Om berkeras mengadakan pesta perpisahan untukku. Pesta perpisahan pun berlangsung, dalam beberapa jam saja waktu berlalu dengan cepat. Sebelum berlanjak ke kamar, aku menyempatkan cerita dengan mommy.
Keesokkan paginya…
Aku melangkahkan kaki keluar rumah, sambil menejamkan mata sejenak aku berjalan meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolah asrama. Dalam perjalanan menuju ke sekolah asrama. Dalam perjalanan menuju ke sekolah tersebut di dalam bus terlihat seorang gadis yang sedang tertidur pulas sambil mendengarkan lagu dengan handfree-nya. Seseorang teman tanpa sengaja membangunkannya memanggil nama alaska.
Sesampai di sekolah, aku berjalan mengikuti gadis yang membuat aku penasaran dengan paras yang manis. Aku ingin mengenal gadis itu lebih jauh lagi. Dengan adanya gadis manis, Alaska akan menambah misiku untuk looking for alaska.
Setelah mengikuti Alaska sampai di depan kelas, aku melanjutkan langkah untuk masuk ke kelas. Ternyata aku masuk di kelas yang berbeda dengan Alaska. Perjalanana misi Looking for Alaska akan terus berlanjut, entah sampai bahkan aku tidak tahu. Aku yakin dengan hadirnya Alaska akan mewarnai hari-hariku di sekolah asrama.
By: Cahaya Shinta

Ini sudah sebulan lebih….

Ini sudah sebulan lebih. Sebulan dari kabar terakhirnya yang datang dari secarik kertas berwarna baby blue. Tidak mengherankan sebenarnya. Kita sudah terpisah lama. Dan sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, kan?
“kopi?” suara mama membuyarkan lamunanku. Secangkir kopi diletakkan di hadapkanku.
Aku mengangguk.
Mama menarik kertas baby blue tadi.
“Tiara sudah sepuluh tahun sekarang?”
“Iya…”
“Astaga, ini bulan lalu, kamu nggak datang ya?”
Aku menggeleng. Kusesap kopiku. Pahit. Lalu aku ingin tertawa. Aku hampir lupa sejak sepuluh tahun yang lalu. Aku memutuskan untuk minum kopi pahit.
“Manda…sampai kapan kamu begini?”
Aku masih diam.
“Tiara perlu tahu, sayang. Dia sudah sepuluh tahun. Dia berhak tahu yang sebenarnya .”
“Belum saatnya ma. Manda belum siap.”
Mama hanya menghela napas lalu memelukku erat.
“Mama tau ini berat. Tapi Tiara berhak tahu yang sebenarnya. Apapun reaksinya dia, kamu harus bisa terima, Man.”
Kemudian aku berdiri. Mengambil tasku. Memasukan kertas berwarna biru tadi ke dalamnya.
“Mau ke mana, Man?”
“Ketemu Tiara ma. Sudah saatnya.”
by: Yessy Christy

Pada setiap hari minggu….

Bermula dari kalimat pertama kumpulan puisi yang berjudul “Hap!”—-
Pada setiap hari minggu aku membayangkan hangat dadamu tempat berlibur dingin nadiku. Angan terhangat yang aku damba namun tak juga sua bersentuhan dengan indera perasaku. Aku rindu pesan singkatmu yang berkabar tentang pengiriman selimut agar aku tak lagi kedinginan. Selimut kiriman yang berujung dengan hadirnya dirimu di ambang pintu kamarku.
Kini tak ada lagi pesan singkat, tak ada lagi selimut kiriman, tak ada lagi dada hangatmu tempatku tertidur lelap. Yang ada hanya aku yang kedinginan dan mulai bingung akan berbuat apa, karena merindumu bahkan sudah kuhapus dari daftar kegiatanku sehari-hari.
Kekecewaan yang aku rasa terhadapmu adalag hal terburuk yang pernah aku rasakan. Wanita mana yang tak kecewa jika tempatbya bernaung mencari kehangatan lenyap ditelan bumi. Nyawanya dicuri oleh malaikat yang katanya tak pernah berdosa itu. Hidupnya direnggut umur yang terhenti seketika. Tanya akan kemana perginya priaku itu percuma jika aku tanyakan lagi, sampai-sampai aku bisa merasa luar biasa kecewa terhadap Ia yang menciptakan semesta ini. Bagaimana tak kecewa jika binar cahaya terbaik yang pernah aku lihat telah terkubur di dalam tanah
Binar cahaya mata priaku.
by: Diah Novitasari

Indonesia Raya ini terlalu…..

Indonesia Raya ini terlalu sering melihatnya wara-wiri dilayar televisi mereka sebagai tokon antagonis licik dan manipulatif. Seperti kisah ini,terkadang ada yang berperan baik ada yang berperan licik dan bersandiwara layaknya aktor dan artis. Sibuk bertopeng ceria tapi hampa,sibuk menjadi yang terbaik tapi munafik. Aku,dia,dan kamu seperti pemeran cinta segitiga. Dia berlomba mendapatkanmu namun aku berlari mengejarmu. Apakah itu semacam dusta? Aku bodohi diriku dan kini tinggal asa serta duka. Kamu sekedar berdiri bahkan tak tau pilih yang mana. Iya,aku tau kamu akan berbelok dan berhenti dimana,karna hati takkan salah melangkah dan menerka siapa ‘cinta’. Disitu terkadang aku merasa sedih….
by: Bella Febrianty Putri